Bisnis Baru, layanan FWA untuk Operator GSM
Oleh: Moch S Hendrowijono
Kompas, Rabu 27 Juni 2007
Oleh: Moch S Hendrowijono
Kompas, Rabu 27 Juni 2007
ISU lisensi terpadu, unified access licensing bagi operator mencuat ketika PT Excelcomindo Pratama, XL, mengajukan permohonan menjadi operator FWA (fixed wireless access - telepon tetap nirkabel) berbasis GSM, tetapi belum ditanggapi pemerintah. Menurut dirutnya, Hasnul Suhaimi, XL akan mengalokasikan dua kanalnya untuk layanan FWA yang akan memberi tarif murah dengan nomor sama dengan nomor GSM.
Menurut Dian Siswarini, Oirektur Jaringan PT Excelcomindo Pratama, lisensi terpadu akan merupakan yang terbaik bagi Indonesia dan XL akan menggarap segmen pasar yang agak berbeda dengan pelanggan XL saat ini.
Namun harus diselesaikan lebih dahulu masalah bed a tarif biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan biaya interkoneksi, karena lebih murah di CDMA.
Telepon tetap nirkabel FWA berbasis CDMA saat ini baru dilayani 3 operator: PT Telkom (Flexi), PT Bakrie Telecom (Esia) serta PT Indosat (StarOne) dan tarifnya semurah telepon rumah tetapi jangkauan FWA terbatas hanya di kode area atau kotanya saja.
Beda dengan jangkauan operator GSM yang bisa digunakan ke seluruh negara, bahkan seluruh dunia. Pemerintah memang membuka kesempatan bagi operator telekomunikasi nirkabel untuk memiliki lisensi terpadu, sebagai operator seluler dan sebagai operator nirkabel tetap. Yang sudah siap menjalankan lisensi terpadu baru Mobile-8 yang kini masih merupakan operator seluler berbasis CDMA (Fren).
Lisensi terpadu merupakan dampak pembagian frekuensi 800 MHz di jaringan CDMA (code division multiple access) sekaligus memberi kompensasi bagi yang terkurangi kanalnya. Oi sisi sederhana, kealotan negosiasi antaroperator CDMA untuk memanfaatkan frekuensi bersama memang tidak cair, tetapi sudah mendapat penyelesaian apik, tak harus melakukan kesepakatan bisnis. Tak perlu lagi ada pembicaraan antara PT Bakrie Telecom (BTel) dengan PT Indosat (Isat) soal pemakaian kanal bersama atau sebagai MVNO (mobile virtual network operator - operator telepon bergerak tanpa memiliki jaringan).
Lisensi terpadu memungkinkan operator seluler memberi layanan telepon tetap nirkabel yang tarifnya bisa saja murah, tinggal memindahkan tombol layanannya. Atau sebaliknya, operator FWA dengan
lisensi terpadu bisa menjelajah (roaming) ke wilayah lain yang adajaringannya, tidak sekadar seperti Combo-nya Flexi atau Go-go dari Esia. Tarif seluler memang cukup mahal, sekitar Rp 1.000 per menit, jauh lebih mahal dibanding FWA berbasis CDMA yang I hanya sekitaran Rp 50 atau I Rp 49 per men it. Perbedaan ini r terjadi karena pengenaan BHP. (frekuensi GSM lebih mahal dibanding CDMA. Kebijakan ini pasti disambut masyarakat yang makin memperhitungkan berapa pemakaian dana telekomunikasinya.
Apalagi data menyebutkan bahwa hanya 15 - 20 persen pelanggan yang pernah be pergian ke luar domisili ponselnya (HLR - home location register'), sisanya selalu berada di HLRnya. Mahalnya tarif BHP GSM dibanding BHP CDMA semata I akibat bedanya basis teknologi I yang digunakan. Operator IGSM meski memberikan layanan FWA tidak akan serta merta rbisa bertarif sama dengan tarif FWA CDMA. Ini karena CDMA lebih efisien dibanding GSM dalam hal penggunaan frekuensi, Oengan Ie bar pita frekuensi yang sama, kanal di CDMA bisa 10 sampai 15 kali lebih ban yak dibanding kanal di GSM, sehingga memengaruhi besaran BH P frekuensi.
Jika dihitung secara kasar, rif BHP frekuensi CDMA sedaknya 13 kali lebih murah aripada BHP frekuensi GSM. Sementara BHP frekuensi CDMA seluler hanya 4 kali ebih mahal dibanding BHP untuk FWA. Itu sebabnya kelapa Fren dari Mobile-8 bisa nenawarkan tarif Rp 5 per nenit, yang sulit ditandingi Jperator GSM saat ini.
EBITDA akan turun
Bagi operator seluler GSM, nengambil peluang masuk ke FWA harus mereka pikirkan dengan serius dan hitungan yang serinci mungkin, walau sambutan pelanggan akan gegap gem pita. Kalau 80 persen pelanggannya mengambillayanan FWA karena tarif lebih murah, pendapatan operator akan terganggu. ARPU (average revenue per user pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) jelas akan turun karena tarifnya "turun".
Sekarang saja, tanpa ada isu FWA, ARPU tiap operator GSM sudah turun banyak, dari sekitar Rp 105.000 tiga tahun lalu menjadi hanya Rp 45.000 akhir tahun 2006 dan akan turun lagi di tahun-tahun mendatang. Pemicunya adalah makin masuknya layanan operator ke lapisan masyarakat paling bawah yang daya belinya tidak sekuat masyarakat kota karena segmen potensial di kota sudah jenuh.
Tetapi jika mereka tidak masuk k~ layanan FWA, operator FWA akan mengambil pasar mereka di perkotaan dan pinggiran sekaligus. Saat ini saja
" Bagi operator seluler GSM, mengambil peluang masuk ke FWA harus mereka pikirkan dengan serius dan hitungan yang serinci mungkin, walau sambutan pelanggan akan gegap gempita."
banyak pemakai GSM yang menenteng ponsel FWA CDMA yang membuat operator GSM harus berbagi pendapatan dengan operator FWA. Dengan menjadi operator FWA berbasis GSM, ARPU yang menukik akan menu runkan EBITDA (earn before interest, tax, depreciation and amortization - pendapatan sebelum dipotong bunga, pajak, penghapusan dan dana cadangan). Padahal EBITDA
operator GSM di Indonesia paling tinggi dibanding operator GSM di Eropa atau Jepang, bahkan dengan Singapura. Telkomsel yang EBITDA-nya sampai di atas 70 persen tak akan berjibaku dengan penurunan hingga 50 persen hanya untuk meraih pelanggan lebih banyak lewat FWA. EBITDA Excelcomindo Pratama (XL) sebagaicontoh, turun dari sekitar 55 persen menjadi 45 persen hanya karena XL yang tadinya menyasar golongan menengah ke atas, masuk ke go long an bawah lewat Jempol.
Karenanya, walaupun direksi sepakat akan mengoperasikan FWA, belum tentu komisaris setuju, karena juga akan berdampak langsung pad a harga saham. Namun ketika pasar yang disasar semakin sempit maka yang tersisa adalah masyarakat dengan daya beli di bawah rata-rata dan persaingan mendapatkan pelanggan "berduit" akan makin mustahil.
Saat ini kepadatan telepon di Indonesia baru sekitar 43 persen, 81 juta dari seluler, 14 juta dari telepon tetap, dari jumlah penduduk yang 220 juta. Masih jauh untuk mencapai kepadatan 70 persen seperti Singapura, atau 103 persen seperti negara-negara Skandinavia. Apalagi kepadatan 43 persen itu masih semu, sebab banyak anggota masyarakat yang memiliki lebih dari satu nomor ponsel, apakah itu sesama GSM atau GSM dan FWA.
Dengan hitungan ini, tanpa masuk ke FWA pun, ARPU lalu juga EBITDA operator seluler GSM akan turun dan turun terus, walaupun ini akan diimbangi dengan cape x (capital expenditure - biaya modal) yang juga menurun karena harga teknologinya juga turun terus.
Harga BTS (base transceiver station) yang tiga tahun lalu masih 250 dollar AS per nomor pelanggan, tahun lalu hanya 38 dollar AS dan belum lama ini Telkom mendapat harga hanya 7 dollar AS per nomor. Dan sejalan dengan itu sejak awal tahun ini terompet perang tarif kencang dikumandangkan.
Misalnya XL hanya mengenakan tarif Rp 25 per detik untuk semua tujuan, dari ujung ke ujung Nusantara ke semua operator, sementara antar-XL cuma Rp 10/detik.
Tetapi siapa tahu, momen perang tarif ini. juga bisa menjadi peluang mulus manajemen operator seluler GSM untuk sekalian menukikkan ARPU dengan layanan FWA, daripada pasarnya direbut habis FWA CDMA. Toh kambing hitamnya bukan hanya layanan FWA melainkan juga perang tarifnya* hw@tabloidsinyal.com
No comments:
Post a Comment